Minggu, 19 Januari 2014

Industri Pengolahan Rotan

Rotan harus melalui beberapa proses sebelum material tersebut bisa diolah dan dianyam menjadi sebuah perabot atau dekorasi. Beberapa langkah hampir sama dengan proses kayu.
Rotan yang masih berbentuk 'lonjoran/batang' dengan panjang mencapai 6-10 meter masih sangat basah. Proses pertama adalah dengan menjemur batangan-batangan rotan tersebut hingga agak kering karena pada waktu dikirim ke pabrik pengolahan sebagian rotan tersebut masih berwarna hijau kekuningan. Pengawetan menjadi satu proses penting untuk rotan untuk mencegah serangan jamur dan serangga dengan metode perendaman. Penulis saat ini belum mendapatkan informasi yang akurat tentang jenis bahan kimia yang digunakan.
Baru kemudian setelah rotan direndam selama beberapa jam, proses pengeringan dengan menggunakan ruang dan sistem pengeringan yang sama dengan kayu dilakukan. Rotan ditumpuk di dalam ruang Kiln Dry sedemikian rupa agar sirkulasi udara panas merata ke seluruh tumpukan rotan. Setelah dikeringkan selama 10-15 hari rotan mulai diproses di ruang mesin. beberapa batang rotan yang bengkok diluruskan dengan mesin khusus.
Dari proses ini batangan rotan (diameter sekitar 30-40mm) dikupas dan kulitnya dipisahkan untuk dijadikan bahan baku anyaman atau pengikat kontruksi, sedangkan batangan dan 'daging'nya diproses lebih lanjut untuk membuat batang rotan sama dari ujung hingga pangkalnya.
Batangan ini nantinya akan diproses lagi untuk dibelah menjadi material anyaman yang disebut 'pitrit'. Tergantung dari kualitas batang rotan tersebut. Apabila berwarna terang dan berdiameter besar (>25mm) maka akan diproses menjadi pitrit, jika lebih kecil dari 25mm batangan tersebut biasanya akan digunakan sebagai rangka kursi atau meja.
Pengolahan rotan adalah pengerjaan lanjutan dari rotan bulat (rotan asalan) menjadi barang setengah jadi dan barang jadi (Gambar 1) atau siap dipakai atau dijual. Pengolahan dalam industri yaitu proses pemisahan rotan bulat menjadi bagian-bagian rotan seperti kulit dan hati, masing-masing bagian tersebut diolah lagi sesuai tujuan dan pemanfaatannya. Pengolahan rotan terdiri pengolahan rotan berdiameter kecil (< 18 mm) dan rotan berdiamerter besar (> 18 mm).
Rotan yang berdiameter kecil seperti rotan seel (
Daemonorop melanochaetes Becc.), yang telah dipanen dan dibersihkan daun dan duri serta anggota batang dan dilakukan penggosokan dengan mengunakan serbuk gergaji atau sabut kelapa. Kemudian dipotong-potong sesuai standarnya. Rotan tersebut lalu dibawa ke tempat penumpukan rotan, dan kemudian dijemur sampai kering dan juga dilakukan pengasapan. Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi belerang (gas SO2) agar warna kulit rotan kuning merata dan tahan terhadap serangan jamur. Proses pengolahan sampai tahap ini disebut rotan WS (Washed and Sulphurized). Kemudian rotan tersebut terus di jemur.

Rotan yang sudah kering, dilakukan pembelahan (rotan dibelah) dan juga ada yang diambil kulitnya, digunakan untuk pengikat atau dibuat lampit. Rotan juga bisa diambil hatinya saja, kalau ukurannya besar disebut cor rotan dan kalau ukuran lebih kecil disebut fitrit dan rotan ini digunakan untuk barang kerajinan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap rotan sega (
Calamus caesius Bl.) dengan diameter 14 mm menghasilkan fitrit dengan diameter 3 mm berjumlah 11 buah (Komunikasi pribadi).
A. Penggorengan
Tujuan penggorengan adalah untuk menurunkan kadar air agar cepat kering dan juga untuk mencegah terjadinya serangan jamur. Cara penggorengannya adalah potongan-potongan rotan tersebut diikat menjadi suatu bundelan, kemudian dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan campuran solar dengan minyak kelapa (Gambar 2).
Rachman (1984), meneliti rotan manau (
Calamus manan Miq.) masih basah (segar). Rotan tersebut digoreng dengan berbagai komposisi minyak penggoreng yang terdiri atas 4 macam perbandingan volume, yaitu solar dan minyak kelapa (4:1); solar dan minyak tanah (4:1); solar, minyak tanah dan minyak kelapa (8:1:1) dan minyak tanah dan minyak kelapa (4:1). Lama waktu penggorengan 15 menit, 30 menit, 60 menit dan 120 menit. Ternyata hasilnya perbedaan campuran minyak penggoreng berpengaruh nyata terhadap warna kulit dan keteguhan tekan sejajar serat tetapi tidak memepengaruhi keteguhan geser rotan. Waktu penggorengan mempengaruhi warna kulit dan keteguhan geser rotan akan tetapi tidak mempengaruhi keteguhan tekan sejajar serat selama penggorengan. Campuran minyak penggoreng yang paling baik adalah terdiri atas solar dan minyak kelapa. Hubungan antara taraf waktu penggorengan dengan warna kulit, dan terhadap keteguhan geser masing-masing menunjukkan hubungan nyata. Baik warna kulit rotan maupun keteguhan geser cenderung menurun dengan hubungan linear yang negatif. Beberapa penelitian dilakukan umumnya menggunakan minyak penggoreng dengan komposisi minyak solar dengan minyak kelapa (9:1), juga akan menghasilkan rotan dengan warna cerah (Rachman et al, 1998).
Hasil penelitian Rachman dan Santoso (1996) pada rotan kesur (
Calamus ornatus Bl.), rotan tretes (Daemonorop heteroides Bl.) dan rotan omas (Calamus sp.), yang rata-rata kadar air awal (segar) adalah untuk rotan kesur 124,67%, rotan tretes 199,31% dan rotan omas 198,28%. Setelah dilakukan penggorengan dengan minyak solar dan minyak kelapa (9:1) selama 30 menit dengan suhu berkisar 80 - 120°C, maka terjadi penurunan kadar air dan setelah penggorengan, rata-rata kadar air rotan kesur menjadi 65,37%, rotan tretes 104,26% dan rotan omas 97,95%. Data tersebut menunjukkan bahwa penyusutan kadar air rotan akibat penggorengan sangat beragam . Penyusutan kadar air akibat penggorengan rotan kesur menyusut sekitar 52,29%, rotan tretes kurang lebih 95,05% dan rotan omas sekitar 100,33%. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa nampak rotan omas memiliki pori-pori yang lebih besar daripada rotan tretes dan rotan kesur karena nilai penyusutan kadar airnya paling tinggi. Penggorengan dapat mempercepat penurunan kadar air, sehingga sangat membantu percepatan pengeringan. Penggorengan bertujuan agar lapisan lilin dan silika pada
permukaan kulit rotan lebih mudah dihilangkan, sehingga pengeringan dapat berjalan lebih cepat. Keuntungan lain adalah terhindarnya serangan jamur atau serangga dan rotan menjadi lebih ulet dan tidak rapuh (Rachman, 1984).
B. Penggosokan dan Pencucian
Setelah rotan digoreng, ditiriskan beberapa menit, kemudian digosok dengan kain perca (sabut kelapa) atau karung goni yang dicampur dengan serbuk gergaji, agar sisa kotoran terutama getah yang masih menempel pada kulit rotan dapat dilepaskan, sehingga kulit rotan menjadi bersih dan akan dihasilkan warna rotan yang bewarna cerah dan mengkilap. Setelah digoreng rotan dicuci dengan air bersih sambil digosok dengan sabut kelapa untuk membersihkan kotoran yang melekat pada batang (Rachman 1984).
C. Pengeringan
Setelah rotan dicuci lalu dikeringkan dengan cara dijemur pada panas matahari sampai kering dengan kadar air berkisar 15% - 19% (Gambar 3). Hasil penelitian Basri dan Karnasudirja (1987) pada rotan manau (
Calamus manan Miq.) dan rotan semambu (Calamus scipionum Burr.), menunjukkan bahwa lama pengeringan secara alami dari kedua jenis rotan tersebut berkisar 22 hari sampai 65,3 hari. Dengan menggunakan alat dehumidifier (cara masinal) diperoleh lama pengeringan dari kedua jenis rotan tersebut berkisar antara 5 sampai 8,5 hari. Lebih jauh, kadar air yang diperoleh dengan menggunakan alat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan cara alam. Kadar air yang dicapai berkisar antara 10,54% - 11,78% dengan alat dehumidifier dan antara 18,35 % sampai 19,19 % dengan cara alam. Warna rotan yang dihasilkan dengan cara alam lebih baik (lebih mengkilap) dibandingkan dengan alat dehumidifier.
Penggorengan dan cara pengeringan rotan sangat berpengaruh terhadap laju pengeringan rotan balubuk dan rotan seuti. Laju pengeringan terbesar terdapat pada rotan balubuk goreng yang dikeringkan di udara terbuka terkena sinar matahari langsung, yaitu rata-rata 6,3%. Laju pengeringan terkecil terdapat pada rotan balubuk dan seuti mentah yang dikeringkan di bawah atap, berturut-turut 1,2%/hari dan 1,5 %/hari. (Basri dan Karnasudirdja, 1987).
Hasil penelitian Rachman dan Santoso (1996), pada rotan kesur (
C. ornatus Bl.), rotan tretes (D. heteroides Bl.) dan rotan omas (Calamus sp.) dengan beberapa cara antara lain cara pertama setelah rotan digoreng langsung dikeringkan di bawah sinar matahari, cara kedua rotan segar (basah) , diawetkan dengan bahan pengawet, kemudian dipolis (dibuang kulitnya) dan langsung dikeringkan, cara ketiga rotan segar langsung dipolis (buang kulitnya) kemudian diawetkan dengan bahan pengawet dan langsung dikeringkan. Ternyata cara ketiga memerlukan waktu pengeringan tersingkat bila dibandingkan dengan cara perlakuan lain yang dilakukan dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena pada perlakuan cara ketiga rotan tidak digoreng melainkan langsung dipolis, sehingga rotan tidak mengandung minyak dan kulit rotan, dengan demikian air yang menguap dari rotan itu cepat mengering.
Selanjutnya hasil penelitian ini menunjukkan juga bahwa setiap jenis rotan memiliki kemampuan mengering yang berbeda. Untuk ketiga cara di atas semua perlakuan menunjukkan bahwa rotan kesur adalah yang terlama kering dibandingkan dengan rotan tretes dan omas. Rotan omas memerlukan waktu pengeringan yang tersingkat. Berdasarkan ketiga cara tersebut diatas, maka cara ketiga menunjukkan hasil pengeringan rotan tersingkat bila dibandingkan kedua cara lainnya.
Rachman, Basri dan Santoso (1998) meneliti laju tiga cara pengeringan pada empat jenis rotan (Tabel 6). Ketiga cara pengeringan tersebut adalah cara konvensinal (rotan habis panen kemudian digoreng dengan minyak solar dan minyak kelapa dengan perbandingan 9:1, terus dijemur), cara alternatif I ( rotan
habis dipanen, kemudian digoreng dicampur bahan pengawet, terus dijemur dan dipolis setelah itu dijemur kembali), cara alternatif II (rotan habis panen langsung diawetkan, kemudian dipolis dan dijemur).

D. Pengupasan dan Pemolisan
Pengupasan dan pemolisan umumnya dilakukan pada rotan besar pada keadaan kering, gunanya adalah untuk menghilangan kulit rotan tersebut, sehingga diameter dan warna menjadi lebih seragam dan merata. Basri et al. (1998) mencoba pengupasan dan pemolesan rotan manau (
Calamus manan Miq.), seuti (Calamus ornatus Bl.) dan nunggal (Calamus ornatus Bl.) yang masih basah dan yang sudah kering. Dari hasil percobaan tersebut dapat diambil 4 kesimpulan berikut:
1. Proses pengupasan dan pemolisan rotan berdiameter besar dapat dilakukan dalam keadaan basah maupun kering.
2. Pengupasan dan pemolisan rotan dalam keadaan basah, menghasilkan pengurangan diameter dan produktifitas yang sama dengan yang dikupas dan dipolis pada keadaan kering.
3. Pengupasan dan pemolisan rotan pada keadaan basah menghasilkan rendemen kupas dan polis yang lebih rendah serta serat berbulu dan serat patah yang lebih banyak dibandingkan pada keadaan kering.
4. Dari klasifikasi mutu, maka jenis rotan manau dan nunggal masuk ke dalam kelas mutu baik dan seuti kelas mutu sedang, apabila dikupas dan dipolis pada keadaan basah. Namun bila rotan tersebut dikupas dan dipolis dalam keadaan kering kelas mutunya naik, yaitu untuk manau dan nunggal masuk sangat baik sementara seuti tergolong baik.
E. Pembengkokan
Pembengkokan atau pelengkungan rotan dilakukan pada rotan berdiameter besar sesuai dengan pengunaannya. Cara pembengkokan ini dilakukan dengan cara rotan tersebut dilunakkan dengan uap air panas yang disebut
steaming dengan tabung berbentuk silinder (steamer) agar jaringan rotan menjadi lunak sehingga mudah dibengkokan (Gambar 4). Ada beberapa kerusakan pada proses tersebut, seperti pecah, patah dan putusnya serat pada bagian permukaan yang dilengkungkan (Rachman, 1990).
Penelitian Rachman, Harjo dan Suwirman (1997), pelengkungan rotan melalui perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida pada tiga jenis rotan yaitu, rotan manau (
Calamus manan Miq.), rotan batang (Daemonorops robusta Warb.) dan rotan minong (Calamus optimus Becc.). Rotan yang digunakan
adalah rotan yang sudah dipolis halus dan sudah kering. Rotan tersebut direndam dalam wadah yang berisi larutan dimetil sulfoksida selama 8 jam pada suhu 82°C. Dari cara tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Perendaman dalam larutan Dimetil Sulfosida (DMSO) pada suhu 80°C selama 8 jam memudahkan pelengkungan rotan. Pada taraf konsentrasi yang sama, rotan batang paling sukar dilengkungkan dan rotan manau paling mudah dilengkungkan. Pelengkungan rotan batang menjadi mudah pada perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida konsentrasi 15% dan rotan minong pada konsentrasi 5%. Kerusakan berupa pecah permukaan dan putusnya ikatan serat terjadi pada rotan batang dan rotan minong pada perendaman konsentrasi 0°.
2. Penggunaan larutan dimetil sulfoksida memudahkan pelengkungan, menurunkan tingkat kerusakan fisis dan tidak mempengaruhi kilap, namun cenderung meningkatkan nilai mulur dan sudut volume, serta menurunkan MOE dan rasio E/P.
3. Larutan dimetil sulfoksida berpengaruh sangat nyata terhadap nilai MOE rotan (konsentrasi 0,5, dan 10 persen tidak berbeda), mulur dan rasio E/P rotan (semua tingkat konsentrasi berbeda); dan berpengaruh nyata terhadap sudut volume rotan (konsentrasi 10,15 dan 20 persen tidak berbeda).
4. Rotan yang sukar dilengkungkan (rotan minong dan batang) disarankan diberi uap panas dari DMSO pada konsentrasi 5 - 15% bergantung pada kerapatan dan distribusi ikatan pembuluh.
Hasil penelitian (Jasni, 1992), menunjukkan bahwa pengrajin di industri rumah tangga di Semarang, Jepara dan Solo pada 7 industri rumah tangga, proses pembengkokan dilakukan dengan cara memanaskan langsung bagian yang akan dibengkokkan pada api (kompor minyak tanah dan gas LPG). Kemudian bagian tersebut dibengkokkan dengan bantuan alat pembengkok pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu prosesnya lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar, sehingga bewarna hitam.
F. Pemutihan
Pemutihan rotan bertujuan menghilangkan silika, mengurangi kromofort (gugus penyebab warna) oksidasi terhadap struktur aromatik dari lignin dan karbohidrat (dalam kalium hipoklorit).
Pemutihan perlu dilakukan, dan harus diperhatikan bahan yang dipakai, karena pemakaian bahan dan cara yang salah mengakibatkan rotan rusak (mudah patah). Lukman (1992), meneliti pemutihan kulit rotan sega (
Calamus caesius Bl.) dengan metoda perendaman dalam larutan hidrogenperoksida (H2O2). Penelitian tersebut menunjukkan hasil sbb:
1. Kulit rotan sega sebelum diputihkan mempunyai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat masing-masing sebesar 38,8% dan 412,1 kg/cm2. Setelah diputihkan dengan cara perendaman dalam larutan hidrogen peroksida masing-masing berubah menjadi rata-rata 44,7% dan 374,9 kg/cm2.
2. Proses pemutihan rotan dengan menggunakan H2O2 pada selang konsentrasi 1 sampai 7% dapat meningkatkan nilai derajat putih sampai 48,01%. Keteguhan tarik sejajar kulit rotan yang dihasilkan cenderung menurun dengan bertambahnya konsentrasi bahan pemutih yang digunakan.
3. Untuk menghasilkan kulit rotan yang memiliki nilai derajat putih dan keteguhan tarik sejajar serat yang optimum maka dianjurkan menggunakan konsentrasi bahan pemutih sebesar 5%. Pada tingkat konsentrasi bahan pemutih H2O2 tersebut dihasilkan kulit rotan dengan nilai derajat putih rata-rata 46,00% dan keteguhan tarik sejajar serat sebesar 364,8 kg/cm2.
4. Perlakuan lama perendaman pada proses pemutihan rotan tidak memberikan pengaruh yang nyata, baik terhadap derajat putih maupun kekuatan tarik sejajar serat. Hal yang sama berlaku pula untuk interaksi antara konsentrasi bahan pemutih dengan lama perendaman. Mengingat hal itu perendaman selama 1 jam dianggap cukup.
Hasil penelitian di lapangan, untuk pemutihan dipakai zat-zat kimia, tetapi tidak semua perusahaan melakukan pemutihan, tergantung dari permintaan konsumen. Cara melakukan pemutihan di tiap perusahaan berbeda, ada yang mencelupkan rotan barang jadi dalam bak yang sudah berisi zat pemutih sambil digosok-gosok dengan sikat yang terbuat dari ijuk, ada juga yang mencelupkan barang setengah jadi kedalam bak yang sudah berisi bahan pemutih hanya satu detik saja dan ada pula dengan cara menyiram zat pemutih pada rotan. Bahan pemutih yang digunakan adalah perhydrol, air kaca, NaOh dan asap belerang (Jasni, 1992).
G. Pengasapan
Pengasapan dilakukan agar warna rotan menjadi kuning merata dan mengkilap. Pengasapan dilakukan pada rotan kering yang masih berkulit (alami) Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi rotan dengan belerang (gas SO2) agar warna kulit rotan menjadi lebih putih. Pengasapan dilakukan dalam rumah asap yang berbentuk kubah terbuat dari tembok dan balok kayu. Di dalam kubah dapat disusun 4000 batang rotan secara horizontal berlapis-lapis. Setiap lapisan diberi bantalan kayu agar asap bergerak bebas di antara lapisan rotan. Selanjutnya belerang dibakar di atas suatu wadah dan dimasukkan ke dalam rumah asap. Waktu pengasapan sekitar 12 jam dan menghabiskan sekitar 7,5 kg belerang atau 1,8 gr/batang rotan (Rachman 1990).
H. Pengawetan
Pengawetan rotan adalah proses perlakuan kimia atau fisis terhadap rotan yang bertujuan meningkatkan masa pakai rotan. Bahan kimia untuk mengawetkan rotan dirsebut bahan pengawet. Selain berfugsi untuk mencegah atau memperkecil kerusakan rotan akibat oganisme perusak, juga memperpanjang umur pakai rotan.
Bahan pengawet yang digunakan harus bersifat racun terhadap organisme perusak baik pada rotan basah maupun rotan kering, permanen dalam rotan, aman dalam pengangkutan dan penggunaan, tidak bersifat korosif, tersedia dalam jumlah banyak dan murah.
Pengawetan mulai dilakukan pada rotan masih berdiri atau rotan sebelum dipungut (Bucheri), pengawetan rotan setelah panenan (propilaktik) dan pengawetan rotan setelah kering (permanen). Cara pengawetan seperti ini disesuaikan dengan organisme perusak rotan tersebut.

1 komentar: