Rotan harus melalui beberapa proses sebelum material
tersebut bisa diolah dan dianyam menjadi sebuah perabot atau dekorasi.
Beberapa langkah hampir sama dengan proses kayu.
Rotan yang masih berbentuk 'lonjoran/batang' dengan panjang mencapai 6-10
meter masih sangat basah. Proses pertama adalah dengan menjemur
batangan-batangan rotan tersebut hingga agak kering karena pada waktu dikirim
ke pabrik pengolahan sebagian rotan tersebut masih berwarna hijau kekuningan.
Pengawetan menjadi satu proses penting untuk rotan untuk mencegah serangan
jamur dan serangga dengan metode perendaman. Penulis saat ini belum
mendapatkan informasi yang akurat tentang jenis bahan kimia yang digunakan.
Baru kemudian setelah rotan direndam selama beberapa jam, proses pengeringan
dengan menggunakan ruang dan sistem pengeringan yang sama dengan kayu
dilakukan. Rotan ditumpuk di dalam ruang Kiln Dry sedemikian rupa agar
sirkulasi udara panas merata ke seluruh tumpukan rotan. Setelah dikeringkan
selama 10-15 hari rotan mulai diproses di ruang mesin. beberapa batang rotan
yang bengkok diluruskan dengan mesin khusus.
Dari proses ini batangan rotan (diameter sekitar 30-40mm)
dikupas dan kulitnya dipisahkan untuk dijadikan bahan baku anyaman atau
pengikat kontruksi, sedangkan batangan dan 'daging'nya diproses lebih lanjut
untuk membuat ∅ batang rotan sama dari ujung hingga pangkalnya.
Batangan ini nantinya akan diproses lagi untuk dibelah menjadi material
anyaman yang disebut 'pitrit'. Tergantung dari kualitas batang rotan
tersebut. Apabila berwarna terang dan berdiameter besar (>25mm) maka akan
diproses menjadi pitrit, jika lebih kecil dari 25mm batangan tersebut
biasanya akan digunakan sebagai rangka kursi atau meja.
Pengolahan rotan adalah pengerjaan lanjutan dari rotan bulat (rotan asalan)
menjadi barang setengah jadi dan barang jadi (Gambar 1) atau siap dipakai
atau dijual. Pengolahan dalam industri yaitu proses pemisahan rotan bulat
menjadi bagian-bagian rotan seperti kulit dan hati, masing-masing bagian
tersebut diolah lagi sesuai tujuan dan pemanfaatannya. Pengolahan rotan
terdiri pengolahan rotan berdiameter kecil (< 18 mm) dan rotan
berdiamerter besar (> 18 mm).
Rotan
yang berdiameter kecil seperti rotan seel (
Daemonorop melanochaetes Becc.), yang telah dipanen dan
dibersihkan daun dan duri serta anggota batang dan dilakukan penggosokan
dengan mengunakan serbuk gergaji atau sabut kelapa. Kemudian dipotong-potong
sesuai standarnya. Rotan tersebut lalu dibawa ke tempat penumpukan rotan, dan
kemudian dijemur sampai kering dan juga dilakukan pengasapan. Pengasapan pada
dasarnya adalah proses oksidasi belerang (gas SO2) agar warna kulit rotan
kuning merata dan tahan terhadap serangan jamur. Proses pengolahan sampai
tahap ini disebut rotan WS (Washed and Sulphurized). Kemudian rotan
tersebut terus di jemur.
Rotan
yang sudah kering, dilakukan pembelahan (rotan dibelah) dan juga ada yang
diambil kulitnya, digunakan untuk pengikat atau dibuat lampit. Rotan juga
bisa diambil hatinya saja, kalau ukurannya besar disebut cor rotan dan kalau
ukuran lebih kecil disebut fitrit dan rotan ini digunakan untuk barang
kerajinan. Hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap rotan sega (
Calamus caesius Bl.) dengan diameter 14 mm menghasilkan fitrit dengan
diameter 3 mm berjumlah 11 buah (Komunikasi pribadi).
A.
Penggorengan
Tujuan
penggorengan adalah untuk menurunkan kadar air agar cepat kering dan juga
untuk mencegah terjadinya serangan jamur. Cara penggorengannya adalah
potongan-potongan rotan tersebut diikat menjadi suatu bundelan, kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang sudah disiapkan campuran solar dengan minyak
kelapa (Gambar 2).
Rachman
(1984), meneliti rotan manau (
Calamus
manan Miq.)
masih basah (segar). Rotan tersebut digoreng dengan berbagai komposisi minyak
penggoreng yang terdiri atas 4 macam perbandingan volume, yaitu solar dan
minyak kelapa (4:1); solar dan minyak tanah (4:1); solar, minyak tanah dan
minyak kelapa (8:1:1) dan minyak tanah dan minyak kelapa (4:1). Lama waktu
penggorengan 15 menit, 30 menit, 60 menit dan 120 menit. Ternyata hasilnya
perbedaan campuran minyak penggoreng berpengaruh nyata terhadap warna kulit
dan keteguhan tekan sejajar serat tetapi tidak memepengaruhi keteguhan geser
rotan. Waktu penggorengan mempengaruhi warna kulit dan keteguhan geser rotan
akan tetapi tidak mempengaruhi keteguhan tekan sejajar serat selama
penggorengan. Campuran minyak penggoreng yang paling baik adalah terdiri atas
solar dan minyak kelapa. Hubungan antara taraf waktu penggorengan dengan
warna kulit, dan terhadap keteguhan geser masing-masing menunjukkan hubungan
nyata. Baik warna kulit rotan maupun keteguhan geser cenderung menurun dengan
hubungan linear yang negatif. Beberapa penelitian dilakukan umumnya
menggunakan minyak penggoreng dengan komposisi minyak solar dengan minyak
kelapa (9:1), juga akan menghasilkan rotan dengan warna cerah (Rachman et al,
1998).
Hasil
penelitian Rachman dan Santoso (1996) pada rotan kesur (
Calamus ornatus Bl.), rotan tretes (Daemonorop heteroides Bl.) dan
rotan omas (Calamus sp.), yang rata-rata kadar air awal (segar) adalah
untuk rotan kesur 124,67%, rotan tretes 199,31% dan rotan omas 198,28%.
Setelah dilakukan penggorengan dengan minyak solar dan minyak kelapa (9:1)
selama 30 menit dengan suhu berkisar 80 - 120°C, maka terjadi penurunan kadar
air dan setelah penggorengan, rata-rata kadar air rotan kesur menjadi 65,37%,
rotan tretes 104,26% dan rotan omas 97,95%. Data tersebut menunjukkan bahwa
penyusutan kadar air rotan akibat penggorengan sangat beragam . Penyusutan
kadar air akibat penggorengan rotan kesur menyusut sekitar 52,29%, rotan
tretes kurang lebih 95,05% dan rotan omas sekitar 100,33%. Dari data tersebut
dapat dilihat bahwa nampak rotan omas memiliki pori-pori yang lebih besar
daripada rotan tretes dan rotan kesur karena nilai penyusutan kadar airnya
paling tinggi. Penggorengan dapat mempercepat penurunan kadar air, sehingga
sangat membantu percepatan pengeringan. Penggorengan bertujuan agar lapisan
lilin dan silika pada
permukaan
kulit rotan lebih mudah dihilangkan, sehingga pengeringan dapat berjalan
lebih cepat. Keuntungan lain adalah terhindarnya serangan jamur atau serangga
dan rotan menjadi lebih ulet dan tidak rapuh (Rachman, 1984).
B.
Penggosokan dan Pencucian
Setelah
rotan digoreng, ditiriskan beberapa menit, kemudian digosok dengan kain perca
(sabut kelapa) atau karung goni yang dicampur dengan serbuk gergaji, agar
sisa kotoran terutama getah yang masih menempel pada kulit rotan dapat
dilepaskan, sehingga kulit rotan menjadi bersih dan akan dihasilkan warna
rotan yang bewarna cerah dan mengkilap. Setelah digoreng rotan dicuci dengan
air bersih sambil digosok dengan sabut kelapa untuk membersihkan kotoran yang
melekat pada batang (Rachman 1984).
C.
Pengeringan
Setelah
rotan dicuci lalu dikeringkan dengan cara dijemur pada panas matahari sampai
kering dengan kadar air berkisar 15% - 19% (Gambar 3). Hasil penelitian Basri
dan Karnasudirja (1987) pada rotan manau (
Calamus manan Miq.) dan rotan semambu (Calamus scipionum Burr.),
menunjukkan bahwa lama pengeringan secara alami dari kedua jenis rotan
tersebut berkisar 22 hari sampai 65,3 hari. Dengan menggunakan alat
dehumidifier (cara masinal) diperoleh lama pengeringan dari kedua jenis rotan
tersebut berkisar antara 5 sampai 8,5 hari. Lebih jauh, kadar air yang
diperoleh dengan menggunakan alat tersebut lebih rendah dibandingkan dengan
cara alam. Kadar air yang dicapai berkisar antara 10,54% - 11,78% dengan alat
dehumidifier dan antara 18,35 % sampai 19,19 % dengan cara alam. Warna rotan
yang dihasilkan dengan cara alam lebih baik (lebih mengkilap) dibandingkan
dengan alat dehumidifier.
Penggorengan
dan cara pengeringan rotan sangat berpengaruh terhadap laju pengeringan rotan
balubuk dan rotan seuti. Laju pengeringan terbesar terdapat pada rotan
balubuk goreng yang dikeringkan di udara terbuka terkena sinar matahari
langsung, yaitu rata-rata 6,3%. Laju pengeringan terkecil terdapat pada rotan
balubuk dan seuti mentah yang dikeringkan di bawah atap, berturut-turut
1,2%/hari dan 1,5 %/hari. (Basri dan Karnasudirdja, 1987).
Hasil
penelitian Rachman dan Santoso (1996), pada rotan kesur (
C. ornatus Bl.), rotan tretes (D. heteroides Bl.) dan rotan
omas (Calamus sp.) dengan beberapa cara antara lain cara pertama
setelah rotan digoreng langsung dikeringkan di bawah sinar matahari, cara
kedua rotan segar (basah) , diawetkan dengan bahan pengawet, kemudian dipolis
(dibuang kulitnya) dan langsung dikeringkan, cara ketiga rotan segar langsung
dipolis (buang kulitnya) kemudian diawetkan dengan bahan pengawet dan
langsung dikeringkan. Ternyata cara ketiga memerlukan waktu pengeringan
tersingkat bila dibandingkan dengan cara perlakuan lain yang dilakukan dalam
penelitian ini. Hal ini diduga karena pada perlakuan cara ketiga rotan tidak
digoreng melainkan langsung dipolis, sehingga rotan tidak mengandung minyak
dan kulit rotan, dengan demikian air yang menguap dari rotan itu cepat
mengering.
Selanjutnya
hasil penelitian ini menunjukkan juga bahwa setiap jenis rotan memiliki
kemampuan mengering yang berbeda. Untuk ketiga cara di atas semua perlakuan
menunjukkan bahwa rotan kesur adalah yang terlama kering dibandingkan dengan
rotan tretes dan omas. Rotan omas memerlukan waktu pengeringan yang
tersingkat. Berdasarkan ketiga cara tersebut diatas, maka cara ketiga
menunjukkan hasil pengeringan rotan tersingkat bila dibandingkan kedua cara
lainnya.
Rachman,
Basri dan Santoso (1998) meneliti laju tiga cara pengeringan pada empat jenis
rotan (Tabel 6). Ketiga cara pengeringan tersebut adalah cara konvensinal
(rotan habis panen kemudian digoreng dengan minyak solar dan minyak kelapa
dengan perbandingan 9:1, terus dijemur), cara alternatif I ( rotan
habis
dipanen, kemudian digoreng dicampur bahan pengawet, terus dijemur dan dipolis
setelah itu dijemur kembali), cara alternatif II (rotan habis panen langsung
diawetkan, kemudian dipolis dan dijemur).
D. Pengupasan dan Pemolisan
Pengupasan
dan pemolisan umumnya dilakukan pada rotan besar pada keadaan kering, gunanya
adalah untuk menghilangan kulit rotan tersebut, sehingga diameter dan warna
menjadi lebih seragam dan merata. Basri et al. (1998) mencoba pengupasan dan
pemolesan rotan manau (
Calamus manan Miq.), seuti (Calamus ornatus Bl.) dan nunggal (Calamus
ornatus Bl.) yang masih basah dan yang sudah kering. Dari hasil percobaan
tersebut dapat diambil 4 kesimpulan berikut:
1. Proses pengupasan dan pemolisan rotan berdiameter besar
dapat dilakukan dalam keadaan basah maupun kering.
2. Pengupasan dan pemolisan rotan dalam keadaan basah, menghasilkan
pengurangan diameter dan produktifitas yang sama dengan yang dikupas dan
dipolis pada keadaan kering.
3. Pengupasan dan pemolisan rotan pada keadaan basah
menghasilkan rendemen kupas dan polis yang lebih rendah serta serat berbulu
dan serat patah yang lebih banyak dibandingkan pada keadaan kering.
4. Dari klasifikasi mutu, maka jenis rotan manau dan
nunggal masuk ke dalam kelas mutu baik dan seuti kelas mutu sedang, apabila
dikupas dan dipolis pada keadaan basah. Namun bila rotan tersebut dikupas dan
dipolis dalam keadaan kering kelas mutunya naik, yaitu untuk manau dan
nunggal masuk sangat baik sementara seuti tergolong baik.
E. Pembengkokan
Pembengkokan atau pelengkungan rotan dilakukan pada rotan
berdiameter besar sesuai dengan pengunaannya. Cara pembengkokan ini dilakukan
dengan cara rotan tersebut dilunakkan dengan uap air panas yang disebut
steaming dengan tabung berbentuk silinder (steamer) agar
jaringan rotan menjadi lunak sehingga mudah dibengkokan (Gambar 4). Ada
beberapa kerusakan pada proses tersebut, seperti pecah, patah dan putusnya
serat pada bagian permukaan yang dilengkungkan (Rachman, 1990).
Penelitian Rachman, Harjo dan Suwirman (1997),
pelengkungan rotan melalui perendaman dengan larutan dimetil sulfoksida pada
tiga jenis rotan yaitu, rotan manau (
Calamus manan Miq.), rotan batang (Daemonorops robusta Warb.) dan
rotan minong (Calamus optimus Becc.). Rotan yang digunakan
adalah rotan yang sudah dipolis halus dan sudah kering.
Rotan tersebut direndam dalam wadah yang berisi larutan dimetil sulfoksida
selama 8 jam pada suhu 82°C. Dari cara tersebut diperoleh hasil sebagai
berikut:
1. Perendaman dalam larutan Dimetil Sulfosida (DMSO) pada
suhu 80°C selama 8 jam memudahkan pelengkungan rotan. Pada taraf konsentrasi
yang sama, rotan batang paling sukar dilengkungkan dan rotan manau paling
mudah dilengkungkan. Pelengkungan rotan batang menjadi mudah pada perendaman
dengan larutan dimetil sulfoksida konsentrasi 15% dan rotan minong pada
konsentrasi 5%. Kerusakan berupa pecah permukaan dan putusnya ikatan serat
terjadi pada rotan batang dan rotan minong pada perendaman konsentrasi 0°.
2. Penggunaan larutan dimetil sulfoksida memudahkan
pelengkungan, menurunkan tingkat kerusakan fisis dan tidak mempengaruhi
kilap, namun cenderung meningkatkan nilai mulur dan sudut volume, serta
menurunkan MOE dan rasio E/P.
3. Larutan dimetil sulfoksida berpengaruh sangat nyata
terhadap nilai MOE rotan (konsentrasi 0,5, dan 10 persen tidak berbeda),
mulur dan rasio E/P rotan (semua tingkat konsentrasi berbeda); dan
berpengaruh nyata terhadap sudut volume rotan (konsentrasi 10,15 dan 20
persen tidak berbeda).
4. Rotan yang sukar dilengkungkan (rotan minong dan
batang) disarankan diberi uap panas dari DMSO pada konsentrasi 5 - 15%
bergantung pada kerapatan dan distribusi ikatan pembuluh.
Hasil penelitian (Jasni, 1992), menunjukkan bahwa
pengrajin di industri rumah tangga di Semarang, Jepara dan Solo pada 7
industri rumah tangga, proses pembengkokan dilakukan dengan cara memanaskan
langsung bagian yang akan dibengkokkan pada api (kompor minyak tanah dan gas
LPG). Kemudian bagian tersebut dibengkokkan dengan bantuan alat pembengkok
pada waktu rotan masih panas. Cara ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu
prosesnya lambat dan kadang-kadang bagian yang dipanaskan dapat terbakar,
sehingga bewarna hitam.
F. Pemutihan
Pemutihan rotan bertujuan menghilangkan silika, mengurangi
kromofort (gugus penyebab warna) oksidasi terhadap struktur aromatik dari
lignin dan karbohidrat (dalam kalium hipoklorit).
Pemutihan perlu dilakukan, dan harus diperhatikan bahan
yang dipakai, karena pemakaian bahan dan cara yang salah mengakibatkan rotan
rusak (mudah patah). Lukman (1992), meneliti pemutihan kulit rotan sega (
Calamus caesius Bl.) dengan metoda perendaman dalam larutan
hidrogenperoksida (H2O2). Penelitian tersebut menunjukkan hasil sbb:
1.
Kulit rotan sega sebelum diputihkan mempunyai derajat putih dan keteguhan
tarik sejajar serat masing-masing sebesar 38,8% dan 412,1 kg/cm2. Setelah
diputihkan dengan cara perendaman dalam larutan hidrogen peroksida
masing-masing berubah menjadi rata-rata 44,7% dan 374,9 kg/cm2.
2.
Proses pemutihan rotan dengan menggunakan H2O2 pada selang konsentrasi 1
sampai 7% dapat meningkatkan nilai derajat putih sampai 48,01%. Keteguhan
tarik sejajar kulit rotan yang dihasilkan cenderung menurun dengan
bertambahnya konsentrasi bahan pemutih yang digunakan.
3.
Untuk menghasilkan kulit rotan yang memiliki nilai derajat putih dan
keteguhan tarik sejajar serat yang optimum maka dianjurkan menggunakan
konsentrasi bahan pemutih sebesar 5%. Pada tingkat konsentrasi bahan pemutih
H2O2 tersebut dihasilkan kulit rotan dengan nilai derajat putih rata-rata
46,00% dan keteguhan tarik sejajar serat sebesar 364,8 kg/cm2.
4.
Perlakuan lama perendaman pada proses pemutihan rotan tidak memberikan
pengaruh yang nyata, baik terhadap derajat putih maupun kekuatan tarik
sejajar serat. Hal yang sama berlaku pula untuk interaksi antara konsentrasi
bahan pemutih dengan lama perendaman. Mengingat hal itu perendaman selama 1
jam dianggap cukup.
Hasil
penelitian di lapangan, untuk pemutihan dipakai zat-zat kimia, tetapi tidak
semua perusahaan melakukan pemutihan, tergantung dari permintaan konsumen.
Cara melakukan pemutihan di tiap perusahaan berbeda, ada yang mencelupkan
rotan barang jadi dalam bak yang sudah berisi zat pemutih sambil
digosok-gosok dengan sikat yang terbuat dari ijuk, ada juga yang mencelupkan
barang setengah jadi kedalam bak yang sudah berisi bahan pemutih hanya satu
detik saja dan ada pula dengan cara menyiram zat pemutih pada rotan. Bahan
pemutih yang digunakan adalah perhydrol, air kaca, NaOh dan asap belerang
(Jasni, 1992).
G. Pengasapan
Pengasapan dilakukan agar warna rotan menjadi kuning
merata dan mengkilap. Pengasapan dilakukan pada rotan kering yang masih
berkulit (alami) Pengasapan pada dasarnya adalah proses oksidasi rotan dengan
belerang (gas SO2) agar warna kulit rotan menjadi lebih putih. Pengasapan
dilakukan dalam rumah asap yang berbentuk kubah terbuat dari tembok dan balok
kayu. Di dalam kubah dapat disusun 4000 batang rotan secara horizontal
berlapis-lapis. Setiap lapisan diberi bantalan kayu agar asap bergerak bebas
di antara lapisan rotan. Selanjutnya belerang dibakar di atas suatu wadah dan
dimasukkan ke dalam rumah asap. Waktu pengasapan sekitar 12 jam dan
menghabiskan sekitar 7,5 kg belerang atau 1,8 gr/batang rotan (Rachman 1990).
H. Pengawetan
Pengawetan rotan adalah proses perlakuan kimia atau fisis
terhadap rotan yang bertujuan meningkatkan masa pakai rotan. Bahan kimia untuk
mengawetkan rotan dirsebut bahan pengawet. Selain berfugsi untuk mencegah
atau memperkecil kerusakan rotan akibat oganisme perusak, juga memperpanjang
umur pakai rotan.
Bahan pengawet yang digunakan harus bersifat racun
terhadap organisme perusak baik pada rotan basah maupun rotan kering,
permanen dalam rotan, aman dalam pengangkutan dan penggunaan, tidak bersifat
korosif, tersedia dalam jumlah banyak dan murah.
Pengawetan mulai dilakukan pada rotan masih berdiri atau
rotan sebelum dipungut (Bucheri), pengawetan rotan setelah panenan
(propilaktik) dan pengawetan rotan setelah kering (permanen). Cara pengawetan
seperti ini disesuaikan dengan organisme perusak rotan tersebut.
|
TERIMA KASIH ATAS ILMUNYA
BalasHapus